Wednesday 11 August 2010

Sholat

Ta’ala berfirman:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ‏‎ ‎أَضَاعُوا الصَّلاةَ‏‎ ‎وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ‏‎ ‎فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan dan memperturutkan nafsunya, maka mereka kelak akan menemui ghayya.” (QS. Maryam: 59)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut bahwa dia adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Lihat kitab Ash-Shalah karya hal. 31)
Para menyatakan bahwa tatkala orang yang meninggalkan berada di dasar neraka, maka ini menunjukkan kafirnya mereka. Karena dasar neraka bukanlah tempat seorang pelaku maksiat selama dia masih muslim.
Hal ini dipertegas dalam lanjutan ayatnya, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Ini menujukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan dengan cara meninggalkannya, maka mereka bukanlah orang .
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ‏‎ ‎النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا‎ ‎أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ‏‎ ‎وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ‏‎ ‎اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ‏‎ ‎وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا‎ ‎فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا‎ ‎مِنِّي دِمَاءَهُمْ‏‎ ‎وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ‏‎ ‎الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ‏‎ ‎عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak disembah kecuali dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan , menegakkan , menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam mereka ada pada .” (HR. Al-Bukhari no. 75 dan Muslim no. 21)
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ‏‎ ‎وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ‏‎ ‎تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh yang memisahkan laki-laki (baca: muslim) dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan .” (HR. Muslim no. 82)
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/403), “Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan termasuk dari perkara yang menyebabkan terjadinya kekafiran.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah juga menerangkan perbedaan antara kata ‘al-kufru’ (memakai ‘al’) dengan kata ‘kufrun’ (tanpa ‘al’). Dimana kata (yang memakai ‘al’/makrifah) bermakna kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama, sementara kata yang kedua (tanpa ‘al’/nakirah) bermakna kafir asghar yang tidak mengeluarkan dari agama. Sementara dalam hadits di atas dia memakai ‘al’. (lihat Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim hal. 70)
Buraidah -radhiallahu anhu- berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا‎ ‎وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ‏‎ ‎تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah , karenanya barangsiapa maka sungguh dia telah kafir.” (HR. At-Tirmizi no. 2621, An-Nasai no. 459, Ibnu Majah no. 1069 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4143)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.”
Dari Abdullah bin Syaqiq Al-Uqaili -rahimahullah- dia berkata:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ‏‎ ‎صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا‎ ‎مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ‏‎ ‎كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
“Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpendapat mengenai sesuatu dari amal perbuatan yang mana meninggalkannya adalah suatu kekufuran melainkan .” (HR. At-Tirmizi no. 2622)
Pembahasan:
Shalat mempunyai kedudukan yang besar dalam agama Islam, bahkan dia adalah tiang penegaknya yang tanpanya maka agama seseorang akan roboh dan hancur. Karenannya Ta’ala dan Rasul-Nya -alaihishshalatu wassalam- senantiasa memperingatkan akan bahayanya meninggalkan dan menyepelekan , sampai-sampai Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengabarkan bahwa pemisah muslim dengan kekafiran adalah ketika dia meninggalkan .
Adapun masalah hukum orang yang meninggalkan , maka ada beberapa masalah yang butuh dibahas:
Masalah Pertama: Hukum umum meninggalkan .
Kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang meninggalkan tanpa ada uzur syar’i maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam suatu dosa yang sangat besar yang akan membahayakan kehidupannya di akhirat kelak.
-rahimahullah- berkata dalam kitab Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha hal. 7, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.”
Imam -rahimahullah- juga berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan besar daripada dosa meninggalkan hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair hal. 25)
Dan para juga telah bersepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari wajibnya lima waktu -misalnya dia meyakini sunnahnya ashar- maka sungguh dia telah kafir keluar dari Islam, sama saja baik dia maupun tidak. Karena keyakinan seperti ini termasuk kekafiran yang bersifat i’tiqadi (hati) di mana dia mengingkari kewajiban sebuah amalan yang telah diketahui wajibnya secara darurat (tanpa butuh dipelajari) dalam agama Islam ini.
berkata dalam Nailul Authar (1/403), “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin akan kafirnya orang yang meninggalkan (lima waktu) dalam keadaan dia mengingkari wajibnya.”
Masalah Kedua: Hukum meninggalkan karena malas.
Setelah mereka bersepakat dalam masalah di atas, mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah orang yang meninggalkan dengan sengaja karena malas atau tanpa ada uzur syar’i, apakah itu merupakan perbuatan kekafiran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama (jika syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalangnya tidak ada) ataukah itu merupakan dosa yang sangat besar akan tetapi hanya merupakan kekafiran asghar (kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Ada dua pendapat besar di kalangan :
1. Meninggalkan karena malas adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Said bin Jubair, Asy-Sya’bi, An-Nakhai, Al Auzai, , Ibnu Al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hakam bin Utaibah, Ath-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, , Abdul Malik bin Hubaib dari , pendapat sebagian ijma’ berdasarkan : , Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Ad-Darda`, Ali buin Abi Thalib, dan selainnya radhiallahu ‘anhum. Asy-Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thahawi). Dan ini merupakan pendapat sebagian besar sahabat -bahkan sebagian atsar Ibnu Syaqiq di atas-, di
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, berkata, “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan adalah kafir. Dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan tanpa ada suatu halangan hingga keluar waktunya adalah kafir.”
2. Meninggalkan karena malas adalah kekafiran asghar yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, salah salah satu pendapat Imam Ahmad, dan ini merupakan pendapat mayoritas .
Pendapat tepat adalah pendapat , dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Mandah dalam Al-Iman (1/362), dalam Al-Ibanah (2/683), dalam Fatawa Kubra Al-Fiqhiah (2/32), dalam kitab Ash-Shalah di mana beliau menukil ijma’ para sahabat akan kafirnya orang yang meninggalkan . Dan dari kalangan masyaikh belakangan seperti: Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ibnu Baz, Ibnu Al-Utsaimin, Muqbil bin Hadi, dan selainnya -rahimahumullah-. Di antara dalil mereka adalah semua dalil yang disebutkan di atas, dan di antara dalil lainnya adalah:
a. Ta’ala berfirman,
“Jika mereka bertaubat, mendirikan dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11)
Ayat ini tegas menunjukkan bahwa orang yang tidak bertaubat dari kesyirikan, tidak mengerjakan , dan tidak menunaikan zakat maka dia bukanlah saudara kita seislam, yakni dia adalah orang kafir. Hanya saja dikecualikan darinya zakat (yakni tidak dihukumi kafir) berdasarkan hadits Abu Hurairah tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam-menyebutkan siksaan yang menimpa orang yang tidak mengeluarkan zakat, kemudian beliau bersabda:
ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا‎ ‎إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا‎ ‎إِلىَ النَّارِ
“Kemudian (setelah dia disiksa, pent.) dia akan melihat jalannya, apakah menuju ke surga atau ke neraka.” (HR. no. 1414)
Hadits ini mengkhususkan makna ayat di atas, di mana hadits ini menunjukkan bahwa setelah orang yang tidak menunaikan zakat itu disiksa, maka dia akan diperlihatkan tujuan akhirnya, apakah ke dalam neraka ataukah surga. Sisi pendalilannya bahwa masih ada kemungkinan dia untuk masuk ke dalam surga, dan ini jelas menunjukkan tidak kafirnya dia.
b. Sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam- akan tidak bolehnya memberontak kepada pemerintah kecuali dia telah melakukan kekafiran yang nyata. Dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ  ‎فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ‏‎ ‎فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ‏‎ ‎بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ‏‎ ‎وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ‏‎ ‎وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ‏‎ ‎وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ‏‎ ‎عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ‏‎ ‎نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ،‏‎ ‎قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا‎ ‎كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ‏‎ ‎مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai’at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau, “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang sangat jelas yang ada bukti kuatnya bagi kalian dari .” (HR. Al-Bukhari no. 6532 dan Muslim no. 3427)
Dan dalam hadits yang lain beliau melarang untuk mengkudeta pemerintah selama pemerintah itu masih mengerjakan .
shahih Muslim no. 3445, dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ،‏‎ ‎فَتَعْرِفُوْنَ‏‎ ‎وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ‏‎ ‎بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ‏‎ ‎سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ‏‎ ‎وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ‏‎ ‎نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا‎ ‎صَلُّوْا
“Kelak akan ada para pemimpin di mana kalian mengenal mereka akan tetapi kalian mengingkari perbuatan mereka. Barangsiapa yang mengetahui kemungkaran (lalu mengingarinya) maka dia telah bebas dari pertanggungjawaban, barangsiapa yang menolaknya maka dia juga selamat, akan tetapi (yang berdosa adalah) siapa yang rela dan mengikuti kemungkaran tersebut. Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan .”
Maka ini menunjukkan bahwa meninggalkan termasuk kekafiran yang sangat jelas, karena dia merupakan salah satu sebab akan bolehnya mengkudeta pemerintah, yakni jika mereka sudah tidak mengerjakan .
Adapun dalil-dalil dari pendapat kedua, yaitu para yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan , maka Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima jenis dalil. Dan kesemuanya tidaklah bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan adalah kafir.”
Jenis pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas.
Jenis kedua: Dalilnya shahih akan tetapi tidak ada sisi pendalilan pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini.
Jenis ketiga: Dalil-dalil umum, akan tetapi dia dikhususkan oleh hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan .
: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu batasan yang tidak mungkin baginya meninggalkan .
Jenis kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan .
Lihat penjabaran dan contoh kelima jenis dalil ini dalam risalah Hukmu karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.
Kesimpulan:
Meninggalkan karena malas dan tanpa ada uzur syar’i adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama islam.
: Hukum bunuh bagi yang meninggalkan .
Mengenai hukum bunuh bagi orang yang meninggalkan karena malas, ada tiga pendapat di kalangan .
adalah bahwa dia harus dibunuh karena dia telah murtad keluar dari Islam. Ini adalah pendapat semua yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan . Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ‏‎ ‎فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia!” (HR. Al-Bukhari no. 2794, 6411)
Pendapat kedua adalah dia harus dibunuh, akan tetapi bukan karena dia kafir tapi sebagai hukum had sebagaimana yang terjadi pada pezina yang telah menikah, dia dibunuh dengan dirajam. Ini adalah pendapat semua yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan , kecuali Abu Hanifah.
Pendapat adalah pendapat Abu Hanifah, di mana beliau menyatakan bahwa pelakunya cukup dikurung sampai dia mau kembali dan dia tidak dibunuh.
Berdasarkan pendapat yang kuat pada masalah kedua sebelumnya, maka pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, yakni dia harus dibunuh karena dia telah murtad dari agamanya.
Catatan:
Yang melaksanakan hukum bunuh di sini adalah pemerintah atau yang mewakilinya, sebagaimana merekalah menegakkan hukum-hukum had lainnya seperti rajam dan potong tangan bagi pencuri.
: Kapan seseorang dihukumi meninggalkan .
Dalam masalah ini, secara umum ada dua pendapat besar di kalangan para kafirnya orang yang meninggalkan karena malas:
: menyebutkan dalam (1/242), “Terdapat riwayat dari Umar, Muadz, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan dari para sahabat yang lain, bahwa seorang yang sengaja meninggalkan fardhu sekali saja hingga keluar waktunya telah kafir dan murtad.” Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
Pendapat yang lain: Bahwa orang yang meninggalkan tidak dikafirkan kecuali meninggalkannya secara total, atau bersikukuh untuk meninggalkan walaupun setelah diancam untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Imam Ahmad di mana beliau menyatakan mengenai hadits Jabir di atas bahwa dengan meninggalkan di situ adalah meninggalkan selamanya.
Yang lebih tepat insya pendapat terakhir. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Majmu` Al-Fatawa (7/219), Ibnul Qayyim hal. 60, 82, Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf (1/378), Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti` (2/26). Jadi jika ada seseorang yang asalnya dia hanya saja terkadang dia meninggalkannya karena malas, maka dia tetap dihukumi seorang muslim dan tidak dihukumi kafir, kecuali jika dia telah meninggalkan secara menyeluruh, wallahu a’lam.
Sumber: al-atsariyyah.com

No comments:

Post a Comment