Monday 16 August 2010

Karakter/Sifat Ciri-Ciri Orang Munafik / Muna - Berbohong, Ingkar Janji Dan Berkhianat

Mungkin kita sering mendengar kata munafik di dalam kehidupan sehari-hari kita. Kata munafik atau muna mungkin kita anggap tidak begitu kasar di telinga kita karena kata itu jarang kita dipublikasikan di media massa. Namun sebenarnya munafik adalah suatu sifat seseorang yang sangat buruk yang bisa menyebabkan orang itu dikucilkan dalam masyarakat.

Apakah kita termasuk orang yang munafik?
Mungkin kita dengan tegas mengatakan kita adalah bukan orang munafik karena kurangnya pemahaman kita mengenai apa itu sifat munafik yang sesungguhnya. Yuk mari kita lanjutkan pembahasan topik ini bersama-sama.

Hadits Nabi Muhammad SAW Tentang Orang-Orang Munafik / Muna :
"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya".(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).
Ciri-Ciri / Sifat-Sifat Munafik Manusia :
1. Apabila berkata maka dia akan berkata bohong / dusta.
2. Jika membuat suatu janji atau kesepakatan dia akan mengingkari janjinya.
3. Bila diberi kepercayaan / amanat maka dia akan mengkhianatinya.
Untuk disebut sebagai orang munafik sejati sepertinya harus memenuhi semua ketiga persyaratan di atas yaitu pembohong, penghianat dan pengingkar janji. Jika baru sebatas satu atau dua ciri saja mungkin belum menjadi munafik tapi baru camuna / calon munafik.

1. Berbohong
Bohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada orang lain. Jadi apabila kita tidak jujur kepada orang lain maka kita bisa menjadi orang yang munafik. Contoh bohong dalam kehidupan keseharian kita yaitu seperti menerima telepon dan mengatakan bahwa orang yang dituju tidak ada tetapi pada kenyataannya orang itu ada. Contoh lainnya seperti ada anak ditanya dari mana oleh orang tuanya dan anak kecil itu mengatakan tempat yang tidak habis dikunjunginya.

2. Ingkar Janji
Seseorang terkadang suka membuat suatu perjanjian atau kesepakatan dengan orang lain. Apabila orang itu tidak mengikuti janji yang telah disepakati maka orang itu berarti telah ingkat janji. Contohnya seperti janjian ketemu sama pacar di warung kebab bang piih tetapi tidak datang karena lebih mementingkan bisnis. Misal lainnya yaitu seperti para siswa yang telah menyepakati janji siswa namun tidak dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.

3. Berhianat
Khianat mungkin yang paling berat kelasnya dibandingkan dengan sifat tukang bohong dan tukang ingkar janji. Khianat hukumannya bisa dijauhi atau dikucilkan serta tidak akan mendapatkan kepercayaan orang lagi bahkan bisa dihukum penjara dan denda secara pidana. Contoh berkhianat yaitu seperti oknum anggota TNI yang menjadi mata-mata bagi pihak asing atau teroris. Contoh lainnya yaitu seperti seorang pegawai yang dipercaya sebagai pejabat pajak, namun dalam pekerjaannya orang itu menyalahgunakan jabatan yang digunakan dengan cara menilep uang setoran pajak.
Jadi apakah anda munafik atau calon muna? Jika ya sebaiknya anda lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bertobat agar tidak dihukum dengan api neraka kelak di akhirat.

Wednesday 11 August 2010

Ciri ciri orang SOK TAU/Sombong ---> Sumber : Al Qur'an Dan Al Hadits.

'Sok tahu' pada dasarnya adalah "merasa sudah cukup berpengetahuan" padahal sebenarnya kurang tahu. Masalahnya, orang yang sok tahu biasanya tidak menyadarinya. Lantas, bagaimana kita tahu bahwa kita 'sok tahu'? Mari kita mengambil hikmah dari Al-Qur'an. Ada beberapa ciri 'sok tahu' yang bisa kita dapatkan bila kita menggunakan perspektif surat al-'Alaq.

1. Enggan Membaca

Ketika disuruh malaikat Jibril, "Bacalah!", Rasulullah Saw. menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Lalu malaikat Jibril menyampaikan lima ayat pertama yang memotivasi beliau untuk optimis. Adapun orang yang 'sok tahu' pesimis akan kemampuannya. Sebelum berusaha semaksimal mungkin, ia lebih dulu berdalih, "Ngapain baca-baca teori. Mahamin aja sulitnya minta ampun. Yang penting prakteknya 'kan?" Padahal, Allah pencipta kita itu Maha Pemurah. Ia mengajarkan kepada kita apa saja yang tidak kita ketahui.

Disisi lain, ada pula orang Islam yang terlalu optimis dengan pengetahuannya, sehingga enggan memperdalam. Katanya, misalnya, "Ngapain baca-baca Qur'an lagi. Toh udah khatam 7 kali. Mending buat kegiatan lain aja." Padahal, Al-Qur'an adalah sumber dari segala sumber ilmu, sumber 'cahaya' yang tiada habis-habisnya menerangi kehidupan dunia. Katanya, misalnya lagi, "Ngapain belajar ilmu agama lagi, toh sejak SD hingga tamat kuliah udah diajarin terus." Padahal, 'ilmu agama' adalah ilmu kehidupan dunia-akhirat.

2. Enggan Menulis

Orang yang sok tahu terlalu mengandalkan kemampuannya dalam mengingat-ingat dan menghafal pengetahuan atau ilmu yang diperolehnya. Ia enggan mencatat. "Ngerepotin," katanya. Seolah-olah, otaknya adalah almari baja yang isinya takkan hilang. Padahal, sifat lupa merupakan bagian dari ciri manusia. Orang yang sok tahu enggan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah, kuliah, ceramah, dan sebagainya. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena kepada manusia.

Di sisi lain, ada pula orang yang kurang mampu menghafal dan mengingat-ingat pengetahuan yang diperolehnya, tapi ia merasa terlalu bodoh untuk mampu menulis. "Susah," katanya. Padahal, merasa terlalu bodoh itu jangan-jangan pertanda kemalasan. Emang sih, kalo nulis buat orang lain, kita perlu ketrampilan tersendiri. Tapi, bila nulis buat diri sendiri, bukankah kita gak bakal kesulitan nulis 'sesuka hati'? Apa susahnya nulis di buku harian, misalnya, "Tentang ciri sok tahu, lihat al-'Alaq!"?

3. Membanggakan Keluasan Pengetahuan

Orang yang sok tahu membanggakan kepintarannya dengan memamerkan betapa ia banyak membaca, banyak menulis, banyak mendengar, banyak berceramah, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa pengetahuan yang ia peroleh itu semuanya berasal dari Allah. Ia mengira, prestasi yang berupa luasnya pengetahuannya ia peroleh berkat kerja kerasnya saja. Padahal, terwujudnya pengetahuan itu pun semuanya atas kehendak-Allah.

Mungkin ia suka meminjam atau membeli buku sebanyak-banyaknya, tetapi membacanya hanya sepintas lalu atau malah hanya memajangnya. Ia merasa punya cukup banyak wawasan tentang banyak hal. Ia tidak merasa terdorong untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Kalau ia menjadi muballigh 'tukang fatwa', semua pertanyaan ia jawab sendiri langsung walau di luar keahliannya. Ia mungkin bisa menulis atau berbicara sebanyak-banyaknya di banyak bidang, tetapi kurang memperhitungkan kualitasnya.

4. Merendahkan Orang Lain Yang Tidak Sepaham

Bagi orang Islam yang sok tahu, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera saja ia menuduh mereka telah melakukan bid'ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Bahkan, misalnya, sampai-sampai ia melarang orang-orang lain melakukan amal yang caranya lain walau mereka punya dalil tersendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai "Yang Maha Tahu", terlalu yakin bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain pasti salah. Padahal, Allah Swt berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan." (an-Najm [53]: 32)

Muslim yang sok tahu cenderung menganggap kesalahan kecil sebagai dosa besar dan menjadikan dosa itu identik dengan kesesatan dan kekafiran! Lalu atas dasar itu dengan gampangnya ia mengeluarkan 'vonis hukuman mati'. Padahal, dalam sebuah hadits shahih dari Usamah bin Zaid dikabarkan, "Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka ia telah Islam dan terpelihara jiwa dan hartanya. Andaikan ia mengucapkannya lantaran takut atau hendak berlindung dari tajamnya pedang, maka hak perhitungannya ada pada Allah. Sedang bagi kita cukuplah dengan yang lahiriah."

5. Menutup Telinga dan Membuang Muka Bila Mendengar Pendapat Lain

Orang yang sok tahu tidak memberi peluang untuk berdiskusi dengan orang lain. Kalau toh ia memasuki forum diskusi di suatu situs, misalnya, ia melakukannya bukan untuk mempertimbangkan pendapat yang berbeda dengan pandangan yang selama ini ia anut, melainkan untuk mengumandangkan pendapatnya sendiri. Ia hanya melihat selayang pandang gagasan orang-orang lain, lalu menyerang mereka bila berlainan dengannya. Ia tidak mau tahu bagaimana mereka berhujjah (berargumentasi).

Di samping itu, orang yang sok tahu itu bersikap fanatik pada pendapat golongannya sendiri. Seolah-olah ia berseru, "Adalah hak kami untuk berbicara dan adalah kewajiban kalian untuk mendengarkan. Hak kami menetapkan, kewajiban kalian mengikuti kami. Pendapat kami semuanya benar, pendapat kalian banyak salahnya." Orang yang terlalu fanatik itu tidak mengakui jalan tengah. Ia menyalahgunakan aksioma, "Yang haq adalah haq, yang bathil adalah bathil."

6. Suka Menyatakan Pendapat Tanpa Dasar Yang Kuat

Muslim yang sok tahu gemar menyampaikan pendapatnya dengan mengatasnamakan Islam tanpa memeriksa kuat-lemahnya dasar-dasarnya. Ia suka berkata, "Menurut Islam begini.... Islam sudah jelas melarang begitu...." dan sebagainya, padahal yang ia ucapkan sesungguhnya hanyalah, "Menurut saya begini.... Saya melarang keras engkau begitu...." dan seterusnya. Kalau toh ia berkata, "Menurut saya bla bla bla....", ia hanya mengemukakan opini pribadinya belaka tanpa disertai dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.

7. Suka Berdebat Kusir
Jika pendapatnya dikritik orang lain, orang yang sok tahu itu berusaha keras mempertahankan pandangannya dan balas menyerang balik pengkritiknya. Ia enggan mencari celah-celah kelemahan di dalam pendapatnya sendiri ataupun sisi-sisi kelebihan lawan diskusinya. Sebaliknya, ia tekun mencari-cari kekurangan lawan debatnya dan menonjol-nonjolkan kekuatan pendapatnya. Dengan kata lain, setiap berdiskusi ia bertujuan memenangkan perdebatan, bukan mencari kebenaran.

Demikianlah beberapa ciri orang yang sok tahu menurut surat al-'Alaq dalam pemahamanku. Dengan mengenali ciri-ciri tersebut, semoga kita masing-masing dapat melakukan introspeksi dan memperbaiki diri sehingga kita tidak menjadi orang yang sok tahu. Aamien.

Sumber :  Al Qur'an Dan Al Hadits.

Nafkah Untuk Sang Isteri menurut Islam

Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.

خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik" [1]

KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH KELUARGA
Kisah di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai hak isteri yang wajib untuk dipenuhi. Kemampuan memberi nafkah ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita. Namun mungkin banyak diantara kaum muslimin yang tidak memahami masalah penting ini. Terlebih pada masa dewasa ini, di tengah maraknya upaya pengaburan norma-norma agama, banyak faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola pikir kaum Muslimin; kebodohan terhadap ajaran agama adalah salah satu sebab utama, disamping sikap membeo kepada orang-orang di luar Islam.

DEFINISI NAFKAH MENURUT ULAMA
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya [2]. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.

Hukum memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, berdasarkan nash-nash Al Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta Ijma’ ulama.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan" [Ath Thalaq : 7].

Juga firmanNya.

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik".[Al Baqarah : 233].

Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اتَّقُوْا اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ، أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ

"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian".[3]

Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan mereka, berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi nafkah isteri.[4]

KEUTAMAAN MEMBERI NAFKAH KEPADA KELUARGA
Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga.

Melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ

"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" [5].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ

"Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu".[6]

Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, Pen) dari sedekah yang sunnat.”[7]

Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan isterinya di rumah mengencangkan perut menahan lapar. Dimanakah sikap perwira dan tanggung jawabnya sebagai suami?

Satu hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib memberi nafkah dari rizki yang halal. Jangan sekali-kali memberi nafkah dari jalan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram berhak mendapat siksa api neraka. Sang suami akan dimintai pertanggungan jawaban tentang nafkah yang diberikan kepada keluarganya.

KAPAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH BERAWAL?
Para ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini mulai dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad nikah yang sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.

Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan suaminya tersebut.

Sedangkan ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan akad nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai berawal ketika sang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak memboyong isterinya ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu darinya.[8]

JENIS-JENIS NAFKAH
Jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang isteri serta keluarganya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah. Termasuk kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama- meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana dan peralatan yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi kebutuhan primernya, juga pemenuhan kebutuhan biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.

Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan dan pengadaan pembantu rumah tangga, terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ahli fiqh berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib bagi suami. Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga, tidak wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan pembantu rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang lumrah dalam keluarga sang isteri, ataupun di kalangan keluarga-keluarga lain di kaumnya. Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan pembantu rumah tangga ini juga tidak terlepas dari kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak mampu memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka tidak wajib bagi suami untuk mengadakannya, karena Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.

Ada satu kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi para isteri. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengadu kepada ayahnya tentang luka-luka di tangannya yang dikarenakan pekerjaannya berkhidmah kepada suami. Wanita mulia ini mendengar, telah datang seorang budak kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun saat itu Fathimah tidak menjumpai Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akhirnya Fathimah menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah. Ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, ‘Aisyah menceritakan pengaduan Fathimah kepada Beliau.

Ali berkata: Ketika Beliau datang mengunjungi kami, dan pada saat itu kami bersiap-siap hendak tidur. Kami pun bangun mendengar kedatangan Beliau, namun Beliau berkata,"Tetaplah kalian berdua di tempat kalian.” Beliau datang dan duduk diantara aku dan Fathimah, hingga aku bisa merasakan dinginnya kedua telapak tangan Beliau di perutku. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ألاَ أدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّ سَأَلْتُمَا ؟ إذَا أَخَذْتَمَا مَضَاجَعَكُمَا أوْ أَوَيْتَمَا إلى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَاحْمِدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبِّرَا أرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

"Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian berdua minta? Jika kalian hendak tidur, maka ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan.[9]

Ali berkata,”Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkannya.” Dia (Ali) ditanya,”Juga pada malam perang Shiffin?” Ali menjawab,”Juga pada malam perang Shiffin.”

TEKNIS PEMBERIAN NAKAH KELUARGA DAN KADARNYA
Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar membawakan penjelasan ulama ketika menjelaskan teknis pemenuhan nafkah keluarga.

Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang, bahwa suami wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan tuntutan kebutuhan keluarga, Pen). Demikian juga teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajibkan suami memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan di antara suami-isteri yang disebabkan suami tidak memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikirannya, atau karena kepergiannya atau pun karena ketidaksanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum secara suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan hakim.”[10]

Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan, pemenuhan nafkah isteri ini dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Artinya, sang suami boleh memberikan sejumlah harta serta hal-hal lain yang dibutuhkan keluarganya, secara per hari, per pekan ataupun per bulan dengan kadar yang disanggupinya, sebagai nafkah bagi keluarganya.

Tentang masalah kadar nafkah ini, sebenarnya terdapat silang pendapat diantara para ulama. Siapakah yang menjadi barometer untuk menentukan kadar nafkah tersebut? keadaan isteri atau keadaan suami, ataukah keadaan keduanya?

Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rizkinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua. Jika keduanya berasal dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai dengan keadaan mereka. Namun, jika keduanya berasal dari keluarga yang berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.[11]

Sedangkan para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat, barometer yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar nafkah yang wajib diberikan suami adalah keadaan suami itu sendiri, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

'Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq : 7]

Pendapat ini diperkuat dengan penafsiran Imam Ibnu Katsir tentang makna lafazh (بِالْمَعْرُوفِ) pada ayat berikut.

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik". [Al Baqarah : 233]

Ibnu Katsir berkata,”Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun pertengahan.”

Dalil lain yang memperkuat pendapat mereka ialah firmanNya Azza wa Jalla.

"Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut". [Al Baqarah:236].

FirmanNya Azza wa Jalla.

"Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya". [Al Baqarah : 286]

Ayat-ayat di atas telah menjadikan beban taklif (kewajiban) memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupan suami.

NAFKAH ISTERI DALAM KONDISI YANG BERBEDA
Secara umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun terkadang, ada beberapa kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya tersebut. Berikut ini adalah penjelasan sebagian kondisi tersebut.

1). Nafkah Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di luar rumah) tetap berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia bekerja dengan izin dari suaminya. Namun apabila ia bekerja tanpa mendapat izin dari suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.

Tentang hal ini, ketika menjelasan alasan, mengapa isteri yang bekerja di luar rumah tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.” [13]

2). Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah serta tempat tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu, seperti: Asy Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur. Sedangkan Al Hakam berpendapat, isteri yang nusyuz tetap berhak mendapat nafkah.

Ibnu Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi pendapat jumhur ini, kecuali Al Hakam. Sepertinya ia berhujjah bahwa kedurhakaan seorang isteri tidak menggugurkan haknya untuk mendapatkan mahar setelah adanya akad, maka demikian pula dalam hal nafkah.”

Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia berkata,”Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri, gugurlah kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika ia hamil.”

Tentang pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini adalah pensyaratan yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada isteri yang hamil tersebut adalah untuk anaknya. Dan hal itu tidak mungkin tersampaikan kepada anak, kecuali dengan memberi nafkah kepada isterinya (ibu sang bayi)."[14]

3). Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting menyangkut nafkah isteri yang dicerai.[15]

Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman Allah Azza wa Jalla.

"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya". [Al Ahzab : 49].

Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16].
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama mereka dalam masa ‘iddah.”

Wanita hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal, wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.

"Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan". [Ath Thalaq : 6].[18]

Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak mendapatkan nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena ‘iddahnya) sampai ia melahirkan.

Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai, maka ia berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.

"Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah mereka upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatudengan baik". [Ath Thalaq : 6]

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai isterinya, dan ia memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya tersebut menyusui anaknya, maka sang isteri berhak mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”[19]

Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.

Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَ لاَ سَكَنَى

"Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal". [20]

JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Imam As Sarkhasi berkata,”Setiap wanita telah ditetapkan untuknya bagian dari nafkah atas suaminya. Baik suaminya masih muda, tua ataupun suaminya miskin dan tidak mampu untuk memberi nafkah, maka (ketika itu) ia (isteri) diperintahkan untuk menghutangi suaminya, (yakni nafkah yang belum ia terima menjadi hutang suaminya yang harus ia tunaikan kepada isterinya. Kemudian hendaklah ia kembali kepada suaminya, dan hakim tidak boleh menahannya, jika ia mengetahui ketidakmampuannya untuk memberi nafkah kepada isterinya.”

Sedangkan ulama kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, isteri diberi pilihan untuk tetap bersama suami dalam kemiskinannya itu atau bercerai dari suaminya, dan suami tidak dibebani kewajiban untuk memberi nafkah selama ia tidak mampu.

Mengenai nafkah yang terhutang, apakah tetap menjadi hutang tanggungan suaminya selama ia berada dalam masa sulitnya?

Dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ulama kalangan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa nafkah tersebut tetap menjadi hutang tanggungan suami. Sedangkan ulama madzhab Malikiyah berpendapat, gugurnya kewajiban memberi nafkah tersebut disebabkan ketidakmampuan suami.[21]

HUKUM SUAMI YANG MEMINTA KEMBALI NAFKAH YANG TELAH IA BERIKAN
Apabila seorang suami telah memberikan nafkah kepada isterinya, kemudian ia menceraikan isterinya tersebut atau ia meninggal, maka seorang suami tidak boleh meminta kembali nafkah yang telah diberikannya.

Imam An Nawawi menjelaskan,”Jika sang isteri telah mendapat nafkah, kemudian isteri tersebut meninggal pada pertengahan hari, maka tidak boleh (bagi suami) untuk meminta kembali nafkah yang telah diberikannya tersebut. Akan tetapi harta isterinya tersebut dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerima. Dan jika isteri meninggal, atau ia dithalaq ba’in oleh suaminya pada pertengahan hari, sedangkan dia pada awal hari tersebut (sebelum ia meninggal atau dithalaq) belum mendapatkan nafkah dari suaminya, maka nafkah tersebut menjadi hutang suami yang wajib ia tunaikan.”[22]

ANCAMAN BAGI SUAMI YANG BAKHIL
Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya. Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.

كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ

"Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."[23]

Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلَ أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا، وَ يَقُوْلُ الآخَرُ: اللهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

"Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).”[24]

Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla telah memberikan ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu untuk memberinya. Hal ini bisa kita fahami, karena memberi nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang wajib ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak mau memenuhi nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak mendapat ancaman siksa dari Allah. Wal’iyadzu billah.

Demikianlah sebagian ulasan berkenaan kewajiban suami, yang menjadi pilar diantara pilar-pilar rumah tangga. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kaum muslimin seluruhnya, sehingga mampu menjalankan setiap kewajiban secara konsekwen sesuai tuntunan syari’at, untuk mewujudkan cita-cita rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Amin, Allahumma, Amin. (Az Zarqa’).

Maraji:
1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Ath Thayyibah, Cetakan I.
2. Ahkamuz Zawaj, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqari, Dar An Nufasa’, Cetakan II.
3. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Dar Ibnul Jauzi, Cetakan I.
4. Isyratun Nisa’, Usamah bin Kamal bin Abdurrazaq, Dar Al Wathan Lin Nasyr, Cetakan II.
5. Adabuz Zifaf, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami.

Sholat

Ta’ala berfirman:
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ‏‎ ‎أَضَاعُوا الصَّلاةَ‏‎ ‎وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ‏‎ ‎فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan dan memperturutkan nafsunya, maka mereka kelak akan menemui ghayya.” (QS. Maryam: 59)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut bahwa dia adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Lihat kitab Ash-Shalah karya hal. 31)
Para menyatakan bahwa tatkala orang yang meninggalkan berada di dasar neraka, maka ini menunjukkan kafirnya mereka. Karena dasar neraka bukanlah tempat seorang pelaku maksiat selama dia masih muslim.
Hal ini dipertegas dalam lanjutan ayatnya, “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Ini menujukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan dengan cara meninggalkannya, maka mereka bukanlah orang .
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ‏‎ ‎النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا‎ ‎أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ‏‎ ‎وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ‏‎ ‎اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ‏‎ ‎وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا‎ ‎فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا‎ ‎مِنِّي دِمَاءَهُمْ‏‎ ‎وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ‏‎ ‎الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ‏‎ ‎عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak disembah kecuali dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan , menegakkan , menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam mereka ada pada .” (HR. Al-Bukhari no. 75 dan Muslim no. 21)
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ‏‎ ‎وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ‏‎ ‎تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh yang memisahkan laki-laki (baca: muslim) dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan .” (HR. Muslim no. 82)
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/403), “Hadits ini menunjukkan bahwa meninggalkan termasuk dari perkara yang menyebabkan terjadinya kekafiran.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah juga menerangkan perbedaan antara kata ‘al-kufru’ (memakai ‘al’) dengan kata ‘kufrun’ (tanpa ‘al’). Dimana kata (yang memakai ‘al’/makrifah) bermakna kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama, sementara kata yang kedua (tanpa ‘al’/nakirah) bermakna kafir asghar yang tidak mengeluarkan dari agama. Sementara dalam hadits di atas dia memakai ‘al’. (lihat Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim hal. 70)
Buraidah -radhiallahu anhu- berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا‎ ‎وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ‏‎ ‎تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah , karenanya barangsiapa maka sungguh dia telah kafir.” (HR. At-Tirmizi no. 2621, An-Nasai no. 459, Ibnu Majah no. 1069 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4143)
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir.”
Dari Abdullah bin Syaqiq Al-Uqaili -rahimahullah- dia berkata:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ‏‎ ‎صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏‎ ‎وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا‎ ‎مِنْ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ‏‎ ‎كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ
“Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpendapat mengenai sesuatu dari amal perbuatan yang mana meninggalkannya adalah suatu kekufuran melainkan .” (HR. At-Tirmizi no. 2622)
Pembahasan:
Shalat mempunyai kedudukan yang besar dalam agama Islam, bahkan dia adalah tiang penegaknya yang tanpanya maka agama seseorang akan roboh dan hancur. Karenannya Ta’ala dan Rasul-Nya -alaihishshalatu wassalam- senantiasa memperingatkan akan bahayanya meninggalkan dan menyepelekan , sampai-sampai Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengabarkan bahwa pemisah muslim dengan kekafiran adalah ketika dia meninggalkan .
Adapun masalah hukum orang yang meninggalkan , maka ada beberapa masalah yang butuh dibahas:
Masalah Pertama: Hukum umum meninggalkan .
Kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang meninggalkan tanpa ada uzur syar’i maka sungguh dia telah terjatuh ke dalam suatu dosa yang sangat besar yang akan membahayakan kehidupannya di akhirat kelak.
-rahimahullah- berkata dalam kitab Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha hal. 7, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.”
Imam -rahimahullah- juga berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan besar daripada dosa meninggalkan hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair hal. 25)
Dan para juga telah bersepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari wajibnya lima waktu -misalnya dia meyakini sunnahnya ashar- maka sungguh dia telah kafir keluar dari Islam, sama saja baik dia maupun tidak. Karena keyakinan seperti ini termasuk kekafiran yang bersifat i’tiqadi (hati) di mana dia mengingkari kewajiban sebuah amalan yang telah diketahui wajibnya secara darurat (tanpa butuh dipelajari) dalam agama Islam ini.
berkata dalam Nailul Authar (1/403), “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin akan kafirnya orang yang meninggalkan (lima waktu) dalam keadaan dia mengingkari wajibnya.”
Masalah Kedua: Hukum meninggalkan karena malas.
Setelah mereka bersepakat dalam masalah di atas, mereka kemudian berbeda pendapat dalam masalah orang yang meninggalkan dengan sengaja karena malas atau tanpa ada uzur syar’i, apakah itu merupakan perbuatan kekafiran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama (jika syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalangnya tidak ada) ataukah itu merupakan dosa yang sangat besar akan tetapi hanya merupakan kekafiran asghar (kecil) yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Ada dua pendapat besar di kalangan :
1. Meninggalkan karena malas adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Said bin Jubair, Asy-Sya’bi, An-Nakhai, Al Auzai, , Ibnu Al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hakam bin Utaibah, Ath-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, , Abdul Malik bin Hubaib dari , pendapat sebagian ijma’ berdasarkan : , Muadz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Ad-Darda`, Ali buin Abi Thalib, dan selainnya radhiallahu ‘anhum. Asy-Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thahawi). Dan ini merupakan pendapat sebagian besar sahabat -bahkan sebagian atsar Ibnu Syaqiq di atas-, di
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, berkata, “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan adalah kafir. Dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan tanpa ada suatu halangan hingga keluar waktunya adalah kafir.”
2. Meninggalkan karena malas adalah kekafiran asghar yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, salah salah satu pendapat Imam Ahmad, dan ini merupakan pendapat mayoritas .
Pendapat tepat adalah pendapat , dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Mandah dalam Al-Iman (1/362), dalam Al-Ibanah (2/683), dalam Fatawa Kubra Al-Fiqhiah (2/32), dalam kitab Ash-Shalah di mana beliau menukil ijma’ para sahabat akan kafirnya orang yang meninggalkan . Dan dari kalangan masyaikh belakangan seperti: Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ibnu Baz, Ibnu Al-Utsaimin, Muqbil bin Hadi, dan selainnya -rahimahumullah-. Di antara dalil mereka adalah semua dalil yang disebutkan di atas, dan di antara dalil lainnya adalah:
a. Ta’ala berfirman,
“Jika mereka bertaubat, mendirikan dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At Taubah: 11)
Ayat ini tegas menunjukkan bahwa orang yang tidak bertaubat dari kesyirikan, tidak mengerjakan , dan tidak menunaikan zakat maka dia bukanlah saudara kita seislam, yakni dia adalah orang kafir. Hanya saja dikecualikan darinya zakat (yakni tidak dihukumi kafir) berdasarkan hadits Abu Hurairah tatkala Nabi -alaihishshalatu wassalam-menyebutkan siksaan yang menimpa orang yang tidak mengeluarkan zakat, kemudian beliau bersabda:
ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا‎ ‎إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا‎ ‎إِلىَ النَّارِ
“Kemudian (setelah dia disiksa, pent.) dia akan melihat jalannya, apakah menuju ke surga atau ke neraka.” (HR. no. 1414)
Hadits ini mengkhususkan makna ayat di atas, di mana hadits ini menunjukkan bahwa setelah orang yang tidak menunaikan zakat itu disiksa, maka dia akan diperlihatkan tujuan akhirnya, apakah ke dalam neraka ataukah surga. Sisi pendalilannya bahwa masih ada kemungkinan dia untuk masuk ke dalam surga, dan ini jelas menunjukkan tidak kafirnya dia.
b. Sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam- akan tidak bolehnya memberontak kepada pemerintah kecuali dia telah melakukan kekafiran yang nyata. Dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu:
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ  ‎فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ‏‎ ‎فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ‏‎ ‎بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ‏‎ ‎وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ‏‎ ‎وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ‏‎ ‎وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ‏‎ ‎عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ‏‎ ‎نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ،‏‎ ‎قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا‎ ‎كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ‏‎ ‎مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai’at beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau, “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang sangat jelas yang ada bukti kuatnya bagi kalian dari .” (HR. Al-Bukhari no. 6532 dan Muslim no. 3427)
Dan dalam hadits yang lain beliau melarang untuk mengkudeta pemerintah selama pemerintah itu masih mengerjakan .
shahih Muslim no. 3445, dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ،‏‎ ‎فَتَعْرِفُوْنَ‏‎ ‎وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ‏‎ ‎بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ‏‎ ‎سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ‏‎ ‎وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ‏‎ ‎نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا‎ ‎صَلُّوْا
“Kelak akan ada para pemimpin di mana kalian mengenal mereka akan tetapi kalian mengingkari perbuatan mereka. Barangsiapa yang mengetahui kemungkaran (lalu mengingarinya) maka dia telah bebas dari pertanggungjawaban, barangsiapa yang menolaknya maka dia juga selamat, akan tetapi (yang berdosa adalah) siapa yang rela dan mengikuti kemungkaran tersebut. Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan .”
Maka ini menunjukkan bahwa meninggalkan termasuk kekafiran yang sangat jelas, karena dia merupakan salah satu sebab akan bolehnya mengkudeta pemerintah, yakni jika mereka sudah tidak mengerjakan .
Adapun dalil-dalil dari pendapat kedua, yaitu para yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan , maka Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima jenis dalil. Dan kesemuanya tidaklah bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan adalah kafir.”
Jenis pertama: Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas.
Jenis kedua: Dalilnya shahih akan tetapi tidak ada sisi pendalilan pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini.
Jenis ketiga: Dalil-dalil umum, akan tetapi dia dikhususkan oleh hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan .
: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu batasan yang tidak mungkin baginya meninggalkan .
Jenis kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan .
Lihat penjabaran dan contoh kelima jenis dalil ini dalam risalah Hukmu karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah-.
Kesimpulan:
Meninggalkan karena malas dan tanpa ada uzur syar’i adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama islam.
: Hukum bunuh bagi yang meninggalkan .
Mengenai hukum bunuh bagi orang yang meninggalkan karena malas, ada tiga pendapat di kalangan .
adalah bahwa dia harus dibunuh karena dia telah murtad keluar dari Islam. Ini adalah pendapat semua yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan . Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ‏‎ ‎فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia!” (HR. Al-Bukhari no. 2794, 6411)
Pendapat kedua adalah dia harus dibunuh, akan tetapi bukan karena dia kafir tapi sebagai hukum had sebagaimana yang terjadi pada pezina yang telah menikah, dia dibunuh dengan dirajam. Ini adalah pendapat semua yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan , kecuali Abu Hanifah.
Pendapat adalah pendapat Abu Hanifah, di mana beliau menyatakan bahwa pelakunya cukup dikurung sampai dia mau kembali dan dia tidak dibunuh.
Berdasarkan pendapat yang kuat pada masalah kedua sebelumnya, maka pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat yang pertama, yakni dia harus dibunuh karena dia telah murtad dari agamanya.
Catatan:
Yang melaksanakan hukum bunuh di sini adalah pemerintah atau yang mewakilinya, sebagaimana merekalah menegakkan hukum-hukum had lainnya seperti rajam dan potong tangan bagi pencuri.
: Kapan seseorang dihukumi meninggalkan .
Dalam masalah ini, secara umum ada dua pendapat besar di kalangan para kafirnya orang yang meninggalkan karena malas:
: menyebutkan dalam (1/242), “Terdapat riwayat dari Umar, Muadz, Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan dari para sahabat yang lain, bahwa seorang yang sengaja meninggalkan fardhu sekali saja hingga keluar waktunya telah kafir dan murtad.” Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
Pendapat yang lain: Bahwa orang yang meninggalkan tidak dikafirkan kecuali meninggalkannya secara total, atau bersikukuh untuk meninggalkan walaupun setelah diancam untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Imam Ahmad di mana beliau menyatakan mengenai hadits Jabir di atas bahwa dengan meninggalkan di situ adalah meninggalkan selamanya.
Yang lebih tepat insya pendapat terakhir. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Majmu` Al-Fatawa (7/219), Ibnul Qayyim hal. 60, 82, Al-Mardawi dalam kitab Al-Inshaf (1/378), Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti` (2/26). Jadi jika ada seseorang yang asalnya dia hanya saja terkadang dia meninggalkannya karena malas, maka dia tetap dihukumi seorang muslim dan tidak dihukumi kafir, kecuali jika dia telah meninggalkan secara menyeluruh, wallahu a’lam.
Sumber: al-atsariyyah.com

Hak dan kewajiban suami dan istri menurut islam

 assalamu�alaikum>>>tulisan
 ini saya kutip dari surgaku.com bersumber dari buku"Petunjuk Sunnah dan adab sehari-hari lengkap" karya H.A.Abdurrahman Ahmad

 

Insya Allah kita dan pasangan akan lebih indah menjalani kehidupan

Hak Bersama Suami Istri
- Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
- Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
- Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
- Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

Adab Suami Kepada Istri .
- Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24)
- Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)
- Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
- Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
- Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
- Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
- Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
- Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
- Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
- Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
- Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
- Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).
- Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
- Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
- Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
- Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
- Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
- Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

Adab Isteri Kepada Suami
- Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
- Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
- Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
- Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
a. Menyerahkan dirinya,
b. Mentaati suami,
c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
- Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
- Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)
- Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
- Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
- Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)
- Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
- Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)
- Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
- Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
- Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
- Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

Isteri Sholehah
- Apabila’ seorang istri, menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramddhan, memelihara kemaluannya, dan mentaati suaminya, niscaya Allah swt. akan memasukkannya ke dalam surga. (Ibnu Hibban)
- Istri sholehah itu lebih sering berada di dalam rumahnya, dan sangat jarang ke luar rumah. (Al-Ahzab : 33)
- Istri sebaiknya melaksanakan shalat lima waktu di dalam rumahnya. Sehingga terjaga dari fitnah. Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid, dan shalatnya wanita di kamarnya lebih utama daripada shalat di dalam rumahnya. (lbnu Hibban)
- Hendaknya menjadikan istri-istri Rasulullah saw. sebagai tauladan utama.

Perkawinan menurut Islam

Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam[1]. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.

Isi kandungan

[sorok]

[sunting] Sejarah perkahwinan

Agama-agama wahyu memperakui bahawa perkahwinan pertama di kalangan manusia berlaku antara Nabi Adam a.s. bersama Hawa. Perkahwinan ini berlaku dengan suatu cara perhubungan yang dibenarkan oleh Allah s.w.t kepada mereka berdua. Ini merupakan suatu sistem perkahwinan yang disyariatkan bagi membiakkan manusia untuk memerintah Bumi dan mendudukinya buat sementara waktu. Selain al-Quran dan hadith, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru turut menceritakan kejadian Adam dan Hawa sebagai pasangan pertama. Di dalam Perjanjian Lama atau Taurat, telah diselitkan beberapa ayat, antaranya yang bermaksud, “Tuhan telah berkata tidak baik Adam berkeseorangan sahaja, maka Aku jadikan seorang penolong sepertinya”. [2]
Berkenaan dengan perkahwinan anak-anak Adam sendiri tidaklah dapat diketahui bagaimanakah sistemnya yang sebenar. Di dalam Tafsir Ibn Kathir, apa yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir daripada Ibn Masi’ud dari beberapa orang sahabat yang lain,bahawa mereka berkata yang bermaksud, “Sesungguhnya tidak diperanakkan bagi Adam anak lelaki melainkan diperanakkan beserta anak perempuan, kemudian anak lelaki kandungan ini dikahwinkan dengan anak perempuan dari kandungan lain, dan anak perempuan bagi kandungan ini dikahwinkan dengan anak lelaki dari kandungan yang lain itu.” Pada masa itu, perkahwinan berlainan kandungan boleh dijadikan seperti perkahwinan berlainan keturunan.

[sunting] Jenis-jenis perkahwinan

  • Poligami adalah perkahwinan lelaki dengan ramai wanita. Ia diamalkan oleh hampir kesemua bangsa di dunia ini. Mereka mengamalkan poligami tanpa had dan batas. Contohnya ada agama di negara China yang membolehkan perkahwinan sehingga 130 orang isteri. Pada syariat Yahudi, poligami dibenarkan tanpa batas dan menurut Islam, poligami hanya dibenarkan sehingga empat orang isteri dengan syarat-syarat yang tertentu.
  • Poliandri merupakah perkahwinan yang berlaku antara seorang perempuan dengan beberapa orang lelaki (konsep songsang dari poligami). Perkahwinan ini sangat jarang berlaku kecuali di Tibet, orang-orang bukit di India dan masyarakat jahiliah Arab. Contohnya masyarakat Juansuwaris apabila saudara lelaki yang tua mengahwini seorang wanita, wanita itu menjadi isteri untuk semua saudara-saudaranya. Amalan ini merujuk kepada kitab Mahabhrata. [3]
  • Monogami merupakan cara perkahwinan tunggal iaitu perkahwinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan sahaja. Sesetengah agama seperti Kristian mengamalkan perkahwinan jenis ini kerana menganggap perkahwinan antara seorang lelaki dan seorang perempuan adalah untuk sepanjang zaman. Oleh kerana itulah penceraian tidak diiktiraf sama sekali (seperti mazhab Katolik).

[sunting] Kedudukan perkahwinan dalam Islam

  • Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga boleh menjatuhkan ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepad bakal isterinya. Dalam permasalahan ini boleh didahulukan perkahwinan dari naik haji kerana gusar penzinaan akan berlaku, tetapi jika dapat dikawal nafsu, maka ibadat haji yang wajib perlu didahulukan kerana beliau seorang yang berkemampuan dalam segala aspek.
  • Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
  • Harus kepada orang yang tidak ada padanya galakan dan bantahan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkahwinan
  • Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri, samaada ia kaya atai tiada nafsu yang kuat
  • Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan berkahwin serta akan menganiaya isteri jika dia berkahwin.

[sunting] Hikmah perkahwinan

  • Cara yang halal untuk menyalurkanm nafsu seks melalui ini manakala perzinaan liwat dan pelacuran sebagainya dapat dielakkan.
  • Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
  • Memelihara kesucian diri
  • Melaksanakan tuntutan syariat
  • Menjaga keturunan
  • Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan persekitaran yang sihat bagi membesarkan anak-anak.Kanak-kanak yang dibesarkan tanpa perhubungan ibu bapa akan memudahkan si anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh itu, institusi kekeluargaan yang disyorkan Islam dilihat medium yang sesuai sebagai petunjuk dan pedoman kepada anak-anak
  • Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
  • Dapat mengeratkan silaturahim

[sunting] Dalil pensyariatan

[sunting] Pemilihan calon

Islam ada menggariskan beberapa ciri-ciri bakal suami dan bakal isteri yang dituntut di dalam Islam. Namun, ia hanyalah panduan dan tiada paksaan untuk mengikut panduan-panduan ini.

[sunting] Ciri-ciri bakal suami

Sekadar gambar hiasan : Perkahwinan antara Datuk Siti Nurhaliza bersama Datuk Khalid
  • beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
  • bertanggungjawab terhadap semua benda
  • memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
  • berilmu agama agar dapat membimbing bakal isteri dan anak-anak ke jalan yang benar
  • tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
  • rajin berusaha untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.

[sunting] Ciri-ciri bakal isteri

  • beriman & solehah
  • rupa paras yang cantik dan elok
  • memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
  • menentukan mas kahwin yang rendah
  • wanita yang subur
  • masih dara
  • berasal dari keturunan yang baik
  • bukan keturunan terdekat

[sunting] Sebab haram nikah

  • Perempuan yang diharamkan berkahwin oleh lelaki disebabkan keturunannya (haram selamanya) dan ia dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang bermaksud, “Diharamkan kepada kamu mengahwini ibu kamu, anak kamu, adik-beradik kamu, emak saudara sebelah bapa, emak saudara sebelah ibu, anak saudara perempuan bagi adik-beradik lelaki, dan anak saudara perempuan bagi adik-beradik perempuan.”:
    • Ibu
    • Nenek sebelah ibu mahupun bapa
    • Anak perempuan & keturunannya
    • Adik-beradik perempuan seibu sebapa atau sebapa atau seibu
    • Anak perempuan kepada adik-beradik lelaki mahupun perempuan, iaitu semua anak saudara perempuan
    • Emak saudara sebelah bapa (adik-beradik bapa)
    • Emak saudara sebelah ibu (adik-beradik ibu)
  • Perempuan yang diharamkan kahwin oleh lelaki disebabkan oleh susuan ialah:
    • Ibu susuan
    • Nenek dari sebelah ibu susuan
    • Adik-beradik perempuan susuan
    • Anak perempuan kepada adik-beradik susuan lelaki atau perempuan
    • Emak saudara sebelah ibu susuan atau bapa susuan
  • Perempuan mahram bagi lelaki kerana persemendaan ialah:
    • Ibu mentua dan ke atas
    • Ibu tiri
    • Nenek tiri
    • Menantu perempuan
    • Anak tiri perempuan dan keturunannya
    • Adik ipar perempuan dan keturunannya
    • Emak saudara kepada isteri
  • Anak saudara perempuan kepada isteri dan keturunannya

[sunting] Peminangan

Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak lelaki dan perempuan untuk melangsungkan perkahwinan mengikut tarikh yang dipersetujui oleh kedua-dua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang diterima oleh Islam. Peminangan adalah permulaan proses perkahwinan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaklah bukan isteri orang, bukan mahram sendiri, tidak dalam idah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila berlaku keingkaran yang disebabkan oleh lelaki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaklah dikembalikan, namun persetujuan hendaklah dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat bakal suami dan bakal isteri adalah sunat, kerana tidak mahu penyesalan berlaku setelah berumahtangga. Anggota yang harus dilihat bagi seorang wanita ialah muka dan kedua-dua tangan sahaja.
Hadis Rasullullah berkenaan kebenaran untuk merisik(melihat tunang)dan meminang:
"Daripada Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang lelaki yang hendak berkahwin dengan seorang perempuan: "Adakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah melihatnya supaya perkahwinan kamu terjamin berkekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)

Hadis Rasullullah berkenaan larangan meminang wanita yang telah bertunang:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunang saudara kamu sehingga dia(membuat ketetapan untuk) memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))

[sunting] Nikah

[sunting] Rukun nikah

[sunting] Syarat bakal suami

  • Islam
  • Lelaki yang tertentu
  • Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
  • Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
  • Bukan dalam ihram haji atau umrah
  • Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  • Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
  • Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri

[sunting] Syarat bakal isteri

  • Islam
  • Perempuan yang tertentu
  • Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
  • Bukan seorang khunsa
  • Bukan dalam ihram haji atau umrah
  • Tidak dalam idah
  • Bukan isteri orang

[sunting] Syarat wali

  • Islam, bukan kafir dan murtad
  • Lelaki dan bukannya perempuan
  • Baligh
  • Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
  • Bukan dalam ihram haji atau umrah
  • Tidak fasik
  • Tidak cacat akal fikiran, terlalu tua dan sebagainya
  • Merdeka
  • Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya
Sebaiknya bakal isteri perlulah menyetujui perkahwinannya dengan bakal suami agar tidak timbul sebarang masalah selepas menjalani kehidupan sebagai suami isteri.Ini juga bertujuan untuk menjaga hak asasi kaum wanita itu sendiri.Sebab itu juga,sebelum akad nikah(lafaz ijab qabul berlangsung antara Wali/wakil Wali).Wali/wakil Wali perlu mendapatkan pengesahan/kepastian sebenar dari bakal isteri/wanita yang hendak dikahwinkan tentang status kerelaannya untuk disatukan.

[sunting] Jenis-jenis wali

  • Wali mujbir: Wali dari bapa sendiri atau datuk sebelah bapa (bapa kepada bapa) mempunyai kuasa mewalikan perkahwinan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya atau tidak (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan bakal isteri yang hendak dikahwinkan)
  • Wali aqrab: Wali terdekat mengikut susunan yang layak dan berhak menjadi wali
  • Wali ab’ad: Wali yang jauh sedikit mengikut susunan yang layak menjadi wali, jika ketiadaan wali aqrab berkenaan. Wali ab’ad ini akan berpindah kepada wali ab’ad lain seterusnya mengikut susuna tersebut jika tiada yang terdekat lagi.
  • Wali raja/hakim: Wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh pemerintah atau pihak berkuasa negeri kepada orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

[sunting] Syarat-syarat saksi

  • Sekurang-kurangya dua orang
  • Islam
  • Berakal
  • Baligh
  • Lelaki
  • Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
  • Boleh mendengar, melihat dan bercakap
  • Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)
  • Merdeka

[sunting] Syarat ijab

  • Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
  • Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
  • Diucapkan oleh wali atau wakilnya
  • Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak e.g.perkahwinan(ikatan suami isteri) yang sah dalam tempoh tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
  • Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku nikahkan/kahwinkan engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai".

[sunting] Syarat qabul

  • Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
  • Tiada perkataan sindiran
  • Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
  • Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
  • Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
  • Menyebut nama bakal isteri
  • Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh sebuatan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikah/perkahwinanku dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".
Selepas qabul dilafazkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan pengikhtirafan/kesaksian dari para hadirin khususnya dari saksi perkahwinan dengan cara meminta saksi mengatakan lafaz "Sah" atau perkataan lain yang sama maksud dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar perkahwinan suami isteri itu berkekalan dan berbahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAmeenkan oleh para hadirin
Sejurus itu,mas kahwan/bayaran perkawinan/mahar akan diserahkan kepada pihak isteri dan selalunya sebentuk cincin akan disarungkan kepada jari manis isteri oleh suami sebagai tanda permulaan ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami isteri.Aktiviti ini diteruskan dengan suami mengucup/mencium isteri.Aktiviti ini disebut sebagai "Pembatalan Wuduk".Ini kerana sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwuduk terlebih dahulu.
Suami isteri juga diminta untuk solat sunat nikah sebagai tanda kesyukuran selepas perkahwinan berlangsung.Perkahwinan Islam sememangnya mudah kerana ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset perkahwinan disamping mas kahwin,hantaran atau majlis keramaian(walimatul urus)yang tidak perlu membebankan atau membazir.Jadi mengapa perlu menyusahkan dalam hal berkaitan perkahwinan dan mengapakah perlu melakukan zina?

[sunting] Wakil Wali/ Qadi

Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal isteri dengan bakal suami.Segala urusan perkahwinan,penyedian aset perkahwian seperti mas kahwin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat berkahwin,jamuan makanan kepada para hadirin dan lain-lain adalah tanggungan pihak suami isteri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan perkahwinan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya mengahwinkan suami isteri berjalan dengan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen berkaitan perkahwinan seperti sijil perkahwinan dan pengesahan suami isteri di pihak tertinggi seperti jabatan Islam dan jabatan pendaftaran negara.Ini bagi memastikan status resume suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang lelaki Islam yang sudah merdeka dan akhil baligh.

[sunting] Mahar

Mahar ialah pemberian yang wajib diberikan oleh lelaki kepada perempuan yang bakal menjadi isterinya. Ia juga disebut sebagai mas kahwin. Hukumnya adalah wajib berdasarkan surah an-Nisa: ayat 4. Jumlah mahar yang wajib dibayar akan ditentukan oleh walinya jika perempuan itu masih kecil, tetapi sudah baligh atau janda boleh ditentukan oleh perempuan itu sendiri. Mahar boleh dibayar dengan pelbagai cara yang mempunyai nilai atau faedah tertentu berdasarkan persetujuan bersama seperti rumah, kebun, mengajar atau membaca al-Quran, mengajar ilmu agama, senaskah kitab al-Quran, sejadah sembahyang, pakaian sembahyang atau sebagainya. Malah ia boleh dibayar secara tunai, bertangguh atau berhutang. Jika mahar berhutang, suami wajib membayarnya setelah melakukan persetubuhan atau persetubuhan secara syubhah atau salah seorang mati. Jika suaminya mati, waris suami wajib membayarnya kepada ahli waris isterinya. Jika diceraikan sebelum bersetubuh, hutang mahar wajib dibayar separuh daripada nilainya kepada bekas isterinya, jika sudah dibayar tetapi belum bersetubuh, maka isteri wajib memulangkan separuh daripadanya. Jika isteri meminta fasakh, mereka belum bersetubuh, dan mahar masih berhutang, suaminya tidak wajib membayarnya. Jika sudah dibayar, bekas isteri wajib memulangkan kesemua jumlah mahar tersebut.

[sunting] Jenis mahar

  • Mahar misil : mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah berkahwin sebelumnya
  • Mahar muthamma : mahar yang dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya.

[sunting] Walimatulurus

Walimatulurus atau kenduri kahwin sunat(seperti majlis santapan makanan)diadakan dan menerima jemputannya adalah wajib (terdapat ulama mengatakan sunat). Ia bertujuan untuk menghebahkan kepada orang ramai mengenai perkahwinan tersebut, mengelakkan sangkaan buruk orang ramai sekiranya terjadi sesuatu perkata dan saudara mara dapat menyaksikan sendiri pernikahan mereka dan mendoakan kebahagiaan rumahtangga mereka. Terdapat beberapa adab dalam walimatulurus seperti dilakukan selepas akad nikah; menjemput jemputan mengikut keutamaan seperti didahulukan saudara-mara, kaum kerabat dari kedua-dua pihak, jiran dan rakan kenalan; bagi pengantin wanita hendaklah mengikut sunah Nabi MuhammadSAW dengan cara bersederhana dan tidak unsur mehah, maksiat dan kemungkaran; dilarang sama sekali berhutang yang membebankan.Dalam menganjurkan agenda berkaitan Walimatulurus,etika berbudaya mengikut adat resam bangsa masing-masing adalah dibolehkan,namun perlu diingat agar penganjurannya perlulah selari dengan apa yang dianjurkan oleh Islam tanpa mempunyai rasa gharar(was-was)dalamnya.Juga tidak mempunyai pengaruh adat berunsur keagamaan dan kepercayaan yang dicedok dari agama lain.Islammelarang aktiviti persandingan seperti yang menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat melayu khususnya kerana perbuatan tersebut telah menampakkan pengaruh Hindu-Buddha seperti aktiviti merenjis dan menepung tawar,selain memperlihatkan pasangan pengantin yang bergaya dan bersolek secara terus kepada hadirin.Hal ini akan pasti akan menimbulkan rasa bangga oleh pasangan pengantin dan menimbulkan rasa(seperti cemburu,gersang dan was-was)dari kalangan hadirin yang melihat aktiviti persandingan tersebut.

[sunting] Konsep yang diharamkan dalam Islam

[sunting] Konsep rahbaniyah

Perkataan rahbaniyah bermasud kerahiban atau kependetaan, atau kehidupan paderi [4] Di dalam Islam, membujang tidak dianggap sebagi satu etika atau cara bagi mendekatkan diri dengan Tuhan seperti yang dilakukan oleh agama Kristian, Buddha, Jain dan sebagainya. Sebagai contoh, agama Buddha ada menyebut tiga aspek yang perlu dimiliki oleh seorang sami iaitu kefakiran, ketabahan dan kelanjangan (membujang). Mengikut agama Buddha, jika seseorang mahu membebaskan dirinya dari nafsu duniawi dan keperluan jasmaniah maka ia akan sampai kepada hakikat diri yang sebenarnya dan dapatlah ia masuk ke dalam Nirwana [5]
Dalam agama Kristian ada ajaran yang menggalakkan penganutnya mengamalkan hidup membujang. Sejak abad ke-5 lagi, orang begitu kagum dengan golongan paderi yang hidup membujang dan sekiranya golongan paderi mahu dihormati dan mengekalkan kuasa mereka, amatlah berfaedah sekiranya mereka memisahkan diri mereka dari orang biasa dengan cara menjauhkan diri dari perkahwinan. Mereka juga berpendapat bahawa paderi yang berkahwin lebih rendah tarafnya dari paderi yang terus membujang kerana perkahwinan bererti tunduk kepada nafsu. Saint Paul berkata, “Sekiranya mereka tidak boleh tahan, biarlah mereka berkahwin akan tetapi seseorang yang benar-benar suci mesti sanggup menahan diri dari berkahwin.” Oleh yang demikian, taraf membujang di kalangan paderi dianggap memelihara moral gereja [6].
Selain itu, perkahwinan juga ditolak oleh golongan bukan paderi mahupun sami seperti golongan yang terlalu sibuk mengejar kekayaan material dan memberi alasan kesibukan bekerja sebagai penghalang membina rumahtangga.

[sunting] Konsep ibahiyah

Istilah ibahiyah diambil dari perkataan yang bermaksud membolehkan. Selain itu, ibahiyah membawa maksud membolehkan atau membebaskan tanpa batas seperti pergaulan seks bebas, homoseksual, lesbian dan sebagainya. Gejala sebegini wujud kerana sikap mereka yang menolak konsep institusi perkahwinan.
Pergaulan bebas: Pendirian Islam dalam pertemuan antara lelaki dan perempuan adalah tidak diharamkan sebaliknya ia diharuskan atau dituntut jika ia menjurus kepada matlamat yang mulia seperti mencari ilmu yang bermanfaat, amal ibadat, perkara kebajikan, jihad dan perkara-perkara lain yang memerlukan pengembelingan tenaga antara kedua-duanya. Namun setelah meluaskan arus pemikiran Barat dan seruan kebebasan wanita, pergaulan bebas telah digariskan oleh al-Qardhawi sebagai
  • keruntuhan akhlak
  • wujudnya anak-anak yang tidak sah tarafnya (anak luar nikah)
  • Merebaknya pelbagai penyakit membahaya
  • Banyaknya terdapat andartu serta lelaki yang terus membujang
  • Berlakunya keruntuhan rumahtangga kerana perkara-perkara yang remeh
Amalan seks bebas: Kegilaan Barat yang memilih cara hidup ‘hidonistik’ iaitu mementingkan keseronokan dan tidak terikat dengan tanggungjawab menyebabkan amalan seks rambang dan bebas berleluasa dan mempengaruhi masyarakat dari benua lain untuk bersama mereka mengejar keseronokan duniawi tanpa mempedulikan dunia selepas mati. Menurut perangkaan Kementerian Kesihatan Singapura (MOH) sebanyak 18.7% daripada 13,753 kes pengguguran kandungan dilakukan di Singapura pada tahun 1999 melibatkan wanita Melayu atau Islam. Menurut MOH lagi, hampir 41% pengguguran dilakukan oleh wanita dari semua kaum dan agama yang belum berkahwin, janda dan berpisah dengan suami
Homoseksual & Lesbian: Pasangan homoseksual atau gay lebih dikenali sebagai perhubungan antara lelaki dengan lelaki dan lesbian sebagai perhubungan antara wanita dengan wanita. Mereka menjalani hidup seperti suami isteri dan beberapa negara Barat telah menghalalkan perkahwinan sejenis. Bahkan sesetengah gereja dan paderi terus meraikan perkahwinan yang sememangnya dihalang oleh semua agama termasuk Kristian sendiri. Manakala di Malaysia, pertubuhan seperti Human Right Watch bagi rantau Asia menyeru supaya Malaysia menghalalkan homoseksualiti dan lesbian. Artikel seperti “Homosexuality is not a Sin”menjelaskan hujah-hujah yang dilihat secara sepintas lalu ianya boleh menyakinkan orang ramai. [7]. Selain itu akhbar The Star pada 26 Mei 1998 pernah melaporkan semasa pelancaran ‘Women’s Agenda For Change’, Avy Joseph ada menyebut bahawa kita perlu membenarkan lesbianisme sebagai tanda masyarakat yang toleran.

[sunting] Lihat juga

[sunting] Rujukan

  1. H. Idris Ahmad, 1983; jil. 2, 54
  2. Abdul Kadir, 1983: 114
  3. Abdul Ghani Azmi, 1994:18
  4. Kamus Munawwir, 1984: 576
  5. H.OK. Rahmat, 1979:255
  6. Russell Bertand, 1993:494
  7. http://www.ikim.gov.my/isu43.htm